Karyabuatanku - Banyak yang mengetahui siapa itu Habib Munzir al Musawa, beliau adalah pendiri Majelis Rasulullah SAW. Majelis Rasulullah SAW sendiri merupakan salah satu Majelis Dzikir dan Shalawat pemuda terbesar di Indonesia. Namun, pada tulisan ini tak akan membahas tentang Majelis Rasulullah SAW. Pada tulisan ini akan mengenang sosok yang mendapatkan sebutan Sultanul Qulub (Sang Raja Hati). Berikut ini adalah tulisan dari Muhajir Madad Salim dengan judul Mengenang Sang Raja Hati, Al Habib Mundzir al Musawwa.

Saya tidak banyak mengenal sosok beliau dengan seksama, selain saya mendapati beliau adalah termasuk kalangan Habaib yang banyak dicintai oleh banyak pemuda-pemudi negeri ini. Itu bagi saya cukup menarik jika melihat fakta, bahwa betapa banyak Habaib yang lebih alim dari beliau, betapa banyak Habaib yang trah keluarganya lebih terkenal dari keluarga beliau. Namun para pemuda-pemudi itu hati mereka lebih condong kepada diri beliau dibanding yang lainnya.

Saya kira hal itu terjadi karena setidaknya ada beberapa alasan pokok. Pertama, karena hakekat kemaqbulan yang beliau miliki selama hidupnya adalah Tauriyyah dari keagungan Guru Fath beliau, Sayyidinal Habib Umar bin Hafidz.

Kemaqbulan dan kemasyhuran yang beliau miliki adalah keagungan Gurunya yang di letakkan "dengan sengaja" oleh Sang Guru keatas pundaknya karena sesungguhnya keagungan semacam itu tidak pas/tidak tepat jika di letakkan di tanah Hadromaut yang mulia.

Tanah Hadromut adalah tanah yang diciptakan Tuhan untuk rumah-rumah kekhumulan, ketasatturan, dan tidak akan kuat menerima hal-hal yang berlawanan dengan itu semua. Sebagaimana pernah terjadi saat kemasyhuran Al Quthub Ali Bin Muhammad Al Habsyi begitu mempesona mata, para Auliya "berbisik" bahwa keagungan semacam ini tidak akan pernah Hadromut mampu kuat menahannya lama-lama.

Maka kemudian terjadi sebuah peristiwa-peristiwa di kota Sewun yang membuat Al Habib Ali memutuskan untuk mengekspor Majlis–Majlis agungnya yang selalu didatangi puluhan ribu orang itu ke Tanah Jawa melalui salah satu murid beliau, Al arif billah Al Habib Alwi bin Muhammad al Habasyi. Kepada muridnya ini, beliau mengirim sebuah surat perintah untuk: "Buatlah Majlis Maulid Tahunandi Jawa, di mana engkau kumpulkan banyak orang dari penjuru daerah untuk membaca untaian kisah Maulid (Simthud Durar) ku ini dan engkau jamu mereka semua."

Jadilah kemudian Majlis Maulid Habibana Ali Al Habasyi tersebar kepenjuru negeri ini dengan pesatnya, karena kemasyhuran dan kemegahan-kemegahan semacam ini Tanah Jawa adalah tempatnya.

Senada dengan itu, keagungan Habiban Umar bin Hafidz serta kemasyhurannya Tanah Hadromut tidak pas untuk mengayominya. Maka beliau "titipkan" keagungannya itu kepada para murid beliau di luar Hadromut, dan salah satunya melalui Al Habib Mundzir al Musawa dengan Majlis Rasulullahnya.

Atau yang kedua, mungkin alasannya memang muncul dari pancaran rahasia spiritual Habib Mundzir sendiri. Di mana selama berdakwah, beliau selalu menyampaikannya dengan hati sanubari, bukan sekedar kemahiran mengumbar narasi di atas mimbar atau kelihaian dalam mengalahkan hujjah musuh-musih dakwahnya.

Sesungguhnya dakwah (kalimat-kalimat) yang meluncur dari ruang-ruang hati, akan menumbuhkan buah–buah kemaqbulannya. 

Al Habib Mundzir tampaknya memang sudah terpilih untuk mengambil peran itu. Dirinya "terpilih" bahkan dimulai saat sepertinya keadaan tidak memungkinkannya.
Saat Al Habib Umar berkeliling Indonesia di awal tahun 90-an, untuk mencari calon murid yang akan beliau bawa ke Hadromut dan akan dididik di sana. Saat itu Habib Mundzir yang masih belajar di Madrasah Al Khairat sangat kepincut untuk dapat turut terpilih. Sayang sekali kuota calon santri itu sudah terpenuhi. Tidak ada lagi jatah tambahan.

Namun saat Al Habib Umar berkunjung ke Al Khairat, dan itu kunjungan beliau yang terakhir di saat itu, Allah Ta'ala "memilih" untuk turut menyertakan Habib Mundzir dalam rombongan calon-calon santri yang akan mendapat beasiswa ke Hadromut sana.

Al Habib Ali Zainal Abidin Al Jufriy berkata: "Kami mengunjungi ma'had Al Khairat yang dipimpin oleh Al Habib Muhammad Naqib bin Syech Abi Bakar, dan jumlah pelajar yang akan dibawa oleh Sayyidi Al Habib Umar ke Tarim sudah terpenuhi.

Di saat aku duduk bersama para pelajar ma'had, seketika pandanganku tertuju kepada seorang pemuda yang sangat menarik perhatianku, sebab pancaran wajah dan ketawadhuannya. Maka aku berkata di dalam hati: "Akan aku sampaikan kepada Sayyidi Umar tentang pemuda ini."

Ketika kami berdiri, pemuda itu datang menghampiri untuk menyalamiku. Aku bertanya kepadanya: "Siapa namamu?"

Ia menjawab dengan sangat sopan dan penuh ketawadhuan: "Khadim (pelayan)mu, Mundzir."

Kemudian Sayyidi Umar datang dan akupun mengabarinya tentang pemuda itu, lalu beliau bertanya: "Mana pemuda yang engkau ceritakan itu?"

Aku menjawab: "Itu dia, pemuda yang memakai peci warna hijau."

Maka al Habib Umar berkata: "Anak ini harus ada di antara mereka (para calon santri) dan dia tidak boleh diundur sampai angkatan kedua."

Mendengar perintah itu, al Habib Umar bin Muhammad Maulakhela berinisiatif untuk menjadi penanggung biaya perjalanan Pemuda Mundzir itu ke kota Tarim, dan ini dihitung sebagai sebuah jasa besar habib Umar Mulakhella yang selalu diceritakan dan diingat Habib Mundzir di dalam majlis-majlisnya.

Al Habib Mundzir selama beberapa tahun memikul tanggung jawab besar amanah kemuliaan dakwah Gurunya. Sampai kemudian betul-betul secara fisik dan rukhani beliau sudah tidak kuat lagi menanggungnya, jika saja tidak ada perhatian ruhaniyyah dari para aslaf dan guru-gurunya.

Saat genap usianya 40 tahun, di suatu pagi beliau berkata kepada istrinya: "Alhamdulillah, aku bermimpi bertemu dengan Rasulullah SAW dan aku mengadukan keadaanku kepada beliau, betapa beratnya beban dakwah dan telah lemah kekuatanku sehingga aku tidak mampu memikul beban ini."

Maka beliau memberiku kabar gembira, Rasulullah SAW berkata: "MUROKH KHOSUN, WAL AMRU INDA UMAR... Aku beri ijin kemurahan kepadamu, dan dalam hal ini terserah Umar."

Maksud baginda Nabi SAW dengan Umar adalah habib Umar bin Hafidz guru beliau. Dan benar juga akhirnya, di sore hari itu juga, beliau wafat meninggalkan dunia yang penuh kepayahan ini, menuju belaian kasih aslaf-aslafnya, wabil khusus baginda Nabi Muhammad SAW al Mushthofa.

Habib Salim, putra Habibana Umar bin Hafidz berkata: "Dari perkataan Habib Mundzir yang pernah aku dengar, dia berkata:
"Wahai Salim, sungguh aku berharap ketika aku diletakkan kedalam kuburku, aku berharap Sayyidiy Umar mengangkat kedua tangannya dan berdoa kepada Allah Ta'ala, YA ROBB... SUNGGUH AKU TELAH MERIDHOINYA... Ketika habib Mundzir wafat, perkataanku itu aku sampaikan kepada ayahku, dan beliau mengangkat kedua tangannya seraya berkata:
"YA ROBB... ANNI ANHU RODHIN... Wahai Tuhan kami, sungguh aku telah meridhoinya."

Sungguh mulia keadaan seorang murid yang meninggalkan dunia, sementara Gurunya yang Paripurna itu telah jatuh hati untuk meridhoinya. "Ya bahtak, Ya Mundzir"

Beruntung sekali dirimu, wahai Habib Mundzir. Maha Guru tuan pun memuji: "Anta mundzir, wa anta mubasyir... Engkau ini Mundzir, di dalam dirimu ada kabar gembira."

Pesona dan cahaya dalam diri Habib Mundzir begitu mempesona anak-anak negeri ini, Sebagaimana persaksian ba'dhus Shalihin dari Kota Tarim: "Wajhuka Nawwir, anta Musy Mundzir, anta Muhammad Maula Jawa, war Royah Batakunu fi yadika... Wajahmu bersinar bercahaya, (laksana) engkau ini bukan Mundzir, tetapi engkau adalah Seorang yang akan dipuji-puji (Muhammad) sang pemilik Tanah Jawa. Dan bendera dakwah aka nada ditanganmu."

Sesudah al Habib Mundzir tiada, anak-anak negeri ini hanya tinggal mendapatkan kemudahannya saja. Bendera dakwah Majlis Rasulullah semakin hari berkibar dimana-mana. Semakin hari semakin banyak anak-anak negeri yang ikut bersama mengibarkannya.

Alhamdulillah, menjadi mudah karena bagihan tersulitnya, beban-beban itu sudah terlebih dahulu al Habib Mundzir al Musawwa yang memikulnya. 
Jazallah anna Habiban Mundzir khoira. Jazalloh anna Habibana Mundzir ma huwa ahluh.
Semoga Allah membalas jasa habib Mundzir kepada kita dengan sebaik-baik balasan. semoga Allah membalas sesuai dengan apa yang beliau berhak mendapatkannya . Amin.

Sumber:

Tags: HabaibKisahNasehatUlama

Post a Comment

0 Comments

Skip to main content