KH Muhammad Manshur, adalah pendiri Pondok Pesantren Popongan, Dusun Popongan, Desa Tegalgondo, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Klaten. Kiai Manshur adalah putera Syaikh Muhammad Abdul Hadi Giri Kusumo, seorang mursyid Tarekat Naqsyabandiyah-Khalidiyah di Giri Kusumo Mranggen Demak.
Berdasarkan cerita yang berkembang. pada prosesi pemakaman Mbah Hadi, terjadi sebuah fenomena khariqul “addah (aneh, luar biasa), yakni ada batu besar yang berada dekat calon makam Mbah Hadi. Seluruh pelayat tidak mampu menyingkirkan batu tersebut. Setelah Mbah Kiai Manshur datang, maka batu tersebut diangkatnya sendiri.
Mbah Manshur belajar agama kepada orang tuanya sendiri, yaitu Syaikh Muhammad Hadi Girikusumo. Ketika remaja, ia belajar Islam dan nyantri di Pondok Pesantren Jamsaren Surakarta yang diasuh oleh Kiai Idris, sebuah pesantren tua yang pendiriannya dipelopori oleh Kraton Kasunanan Surakarta. Manshur muda kemudian mendirikan pesantren di Dusun Popongan Klaten, 20 KM dari Jamsaren Surakarta.
Kedatangan Mbah Manshur di Popongan bukan sebuah kebetulan. Sebelum ke Popongan, Klaten, Mbah Manshur sengaja dikirim oleh Mbah Hadi untuk belajar di Jamsaren, dan dalam perkembangannya menemukan Popongan sebagai tempat dakwah, pendidikan, dan pengembangan Islam, khususnya
Para santri dan sesepuh Dusun Popongan menceritakan bahwa kedatangan Mbah Manshur di Popongan bermula ketika Manshur muda di ambil menantu oleh seorang petani kaya di Popongan yang bernama Haji Fadlil. Manshur muda dinikahkan dengan Nyai Maryam (Nyai Kamilah) bintu Fadlil pada tahun 1918. Karena Manshur merupakan alumni pondok pesantren, maka Haji Fadhil memintanya mengajarkan agama di Popongan. Dari pernikahan itu melahirkan Masjfufah, Imro’ah, Muyassaroh, Muhibbin, dan Muqarrabin, dan Irfan. Dari putrinya Nyai Masjfufah binti Manshur yang dinikah Haji Mukri, lahirlah Salman Dahlawi, yang kelak meneruskan estafet keemimpinan pesantren dan Tarekat Naqsyabandiyah.
Sebelum didirikan pondok pesantren, Mbah Manshur mengajar ngaji masyarakat Popongan. Para santri awal Mbah Manshur sangat sedikit, dan hanya membentuk halaqah kecil. Setelah beberapa tahun kemudian santri yang dating mulai banyak dan dari berbagai daerah sehingga Haji Fadlil berinisiatif untuk mendirikan bangunan yang layak untuk pemondokan dan masjid.
Pembangunan pondok pesantren dan masjid dilakukan secara swasembada dan gotong royong. Batu fondasi diperoleh oleh para santri dari Sungai Jebol, sebuah sungai yang terletak di sebelah selatan Dusun Popongan. Adapun pasir diambil dari Sungai tegalgondo, sebelah utara Dusun Popongan.
Sebagai tokoh yang kaya, Haji Fadhil sendiri yang banyak menyumbang pendirian pesantren yang kelak diasuh oleh menantunya tersebut. Mbah Kiai Muslimin, menceritakan bahwa pembangunan pesantren dilakukan secara gotong royong, sebagian memang mengambil tukang profesional. Pondok Pesantren Popongan resmi didirikan oleh Mbah Manshur pada tahun 1926. Pada tahun yang sama, Mbah Manshur membangun Masjid Popongan.
Pondok Pesantren Popongan, pada masa kepemimpinan cucunya, Kiai Salman Dahlawi, tanggal 21 Juni 1980, namanya diubah menjadi Pondok Pesantren Al-Manshur Popongan. Dusun Popongan kemudian menjadi pusat dakwah dan pendidikan Islam, di samping menjadi pusat sulukTarekat Naqsyabandiyah.
Jaringan Tarekat Mbah Manshur dikembangkan dari Mbah Hadi dengan silsilah sebagai berikut: Kiai Manshur, dari Syekh Muhammad Hadi Bin Muhammad Thohir, dari Syaikh Sulaiman Zuhdi, dari Syaikh Ismail Al Barusi, dari Syaikh Sulaiman Al Quraini, dari dari Syaikh Ad Dahlawi, dari Syaikh Habibullah, dari Syaikh Nur Muhammad Al Badwani, dari Syaikh Syaifudin, dari Syaikh Muhammad Ma’sum, dari Syaikh Ahmad Al Faruqi, dari Syaikh Ahmad Al Baqi’ Billah, dari Syaikh Muhammad Al Khawaliji, dari Syaikh Darwisy Muhammad, dari Syaikh Muhammad Az Zuhdi, dari Syaikh Ya’kub Al Jarkhi, dari Syaikh Muhammad Bin Alaudin Al Athour, dari Syaikh Muhammad Bahaudin An Naqsabandy, dari Syaikh Amir Khulal, dari Syaikh Muhammad Baba As-Syamsi, dari Syaikh Ali Ar Rumaitini, dari Syaikh Mahmud Al Injiri Faqhnawi, dari Syaikh Arif Riwikari, dari Syaikh Abdul kholiq al Ghajwani, dari Syaikh Yusuf Al Hamadani, dari Syaikh Abi Ali Fadhal, dari Syaikh Abu Hasan Al Kharwani, dari Syaikh Abu Yazid Thaifur Al Busthoni, dari Syaikh Ja’far Shodiq, dari Syaikh Qosim Muhammad, dari Syaikh Sayyid Salman al Farisi, dari Abu Bakar Ash-Shidiq, dari Nabi Muhammad
Mbah Hadi mengangkat Kiai Manshur dan Kiai Zahid sebagai mursyid tarekat Dari Kiai Zahid, tarekat berkembang di Pantai Utara Jawa, diteruskan oleh Kiai Zuhri, dilanjutkan oleh Kiai Munif. Adapun Mbah Manshur menyebarkan tarekat melalui para badal, di antaranya ada yang sudah menjadi mursyid, yaitu Kiai Arwani (Kudus), Kiai Salman Popongan (Klaten) yang dilanjutkan oleh Gus Multazam, dan Kiai Abdul Mi’raj (Candisari Demak) yang dilanjutkan oleh Kiai Khalil.
Selain dikembangkan oleh para mursyid yang menjadi murid Mbah Manshur, Tarekat Naqsyabandiyah juga dikembangkan di Kauman Surakarta oleh seorang murid perempuan Mbah Manshur, yaitu Nyai Muharromah (Nyai Soelomo Resoatmodjo). Selain di Popongan, Mbah Manshur juga mendirikan pusat latihan spiritual Tarekat Naqsyabandiyah di Kauman Surakarta. Sejak Mbah Manshur memiliki rumah di Kauman Surakarta, maka tarekat Naqsyabandiyah juga berkembang di kota santri tersebut. Rumah Mbah Manshur di Kauman tersebut dibangun oleh muridnya yang bernama Muslimin dan dibantu oleh Salman muda, cucu kesayangan Mbah Manshur. Mbah Muslimin inilah yang sejak awal sudah menjadi penderek (pengikut) Mbah Manshur, dan menjadi teman karib Kiai Salman, sejak kecil sampai meninggalnya.
Di Popongan sendiri, estafet kepemimpinan pondok pesantren dan Tarekat Naqsyabandiyah dipegang oleh Kiai Salman, cucunya Para putera-puteri Mbah Manshur tidak ada yang melanjutkan estafet kepemimpinan tarekat, tetapi lebih suka menekuni dunia perdagangan, mengikuti jejak kakeknya, Mbah Haji Fadhil.
Dalam mengembangkan jaringan Tarekat Naqsyabandiyah, Mbah Manshur dibantu oleh Kiai Arwani Kudus dan Kiai Abdul Mi’raj (Candisari Semarang). Di Popongan, Mbah Manshur dibantu oleh banyak santri dan jama’ahnya dalam mengembangkan Islam dan jaringan Tarekat Naqsyabandiyah.
Mbah Manshur termasuk Kiai sepuh yang disegani, bukan saja oleh para santri dan jama’ahnya, tetapi juga oleh masyarakat umum, bahkan oleh para sejawatnya dari kalangan Kiai. Setelah pondok pesantren berdiri, Mbah Manshur bukan saja kedatangan tamu yang mau mengaji saja, tetapi juga tamu-tamu umum yang bermaksud bersilaturrahmi dan ngalap berkah. Karisma Mbah Mansur pun semakin meningkat dan menjadi Kiai popular di kalangan masyarakat Klaten, Surakarta, Semarang, Jawa Tengah pada umumnya, dan Yogyakarta.
Kiai Munawwir, pendiri Pondok Pesantren Krayak Yogyakarta, adalah termasuk murid Mbah Manshur di Yogyakarta. Walaupun tidak menjadi mursyid tarekat, Kiai Munawwir menjadi bagian penting dalam perjuangan Mbah Manshur. Ketika Kiai Munawwir meninggal tahun 1942, Mbah Manshur menghadiri acara ta’ziyah dan menjadi imam shalat jenazah.
Mbah Manshur juga menjalin hubungan baik dengan Mbah Siroj, Panularan Surakarta, dan Mbah Ahmad Umar bin Abdul Mannan Mangkuyudan Surakarta. Kedekatan dengan Kiai Ahmad Umar ditunjukkan dengan pembertian nama Al-Muayyad oleh Mbah Manshur untuk nama pondok pesantren di Mangkuyudan yang dirintis Mbah Kiai Abdul Mannan pada tahun 1930. Al-Muayyad berarti yang dikuatkan, artinya bahwa pondok pesantren tersebut dikuatkan oleh kaum muslimin di Surakarta dan sekitarnya.
Mbah Manshur wafat tahun 1955. Setiap tahun Pondok Pesantren Al-Manshur Popongan dan Baqni Manshur mengadakan acara haul yang dihadiri oleh ribuan orang. Pada tahun 2013 ini, haul Mbah Manshur sudah sampai yang ke 58. Setelah Mbah Manshur wafat, estafet kepemimpinan pesantren dan tarekat dipegang oleh cucunya, Kiai Salman, dan mulai tahun 2013, kepemimpinan dipegang oleh Gus Multazam bin Salman Dahlawi.
Menurut informasi dari banyak sumber, Mbah Manshur menyusun lafaz do’a bagi para santri sebelum membaca Al-Qur’an. Lafaz do’a itu dipasang di Madrasah (sebutan salah satu gedung pengajian di Pondok Pesantren Al-Manshur, tepat di depan Ndalem yang ditinggali Mbah Manshur). Lafaz doa tersebut menjadi kharakter khas bacaan bagi santri-santri Pondok Pesantren Al-Manshur Popongan sampai dewsa ini. Lafadz tersebut berbunyi:
Allahumma bil haqqi anzaltahu wa bil haqqi nazal
Allahumma Adzdzim rughbatii fiih
Waj’alhu nuuran li bashorii
Wasyifaa’an li shodrii
Wadzahaban lihammii wa huznii
Allahumma zayyin bihii lisaanii
Wajammil bihii wajhii
Waqawwi bihii jasadii Watsaqqil bihii miizaani
Waqawwinii ‘alaa thaa’atika wa athraafan nahaar
Setiap santri Al-Manshur Popongan mesti hafal do’a tersebut, karena doa karya Mbah Manshur itu selalu dibaca sebelum mengaji Al-Qur’an, baik pengajian AL-Qur’an setelah maghrib, setelah subuh, maupun setelah dhuhur.
Selain itu, beberapa sumber menyebutkan bahwa Syi’ir Tanpo Waton yang dipopulerkan Gus Dur diambil dari Pondok Sepuh di Pondok Pesantren Al-Manshur Popongan. Tetapi dalam pengalaman penulis yang 3 tahun nyantri di Popongan, belum pernah mendengar puji-pujian syi’ir terserbut, khususnya lafaz yang berbahasa jawa Adapun lafaz dengan bahasa Arab merupakan lafaz yang popular dan banyak dipahami masyarakat di berbagai daerah.
Sumber: Situs Resmi PBNU
0 Comments